Dampak Doomscrolling dan Cara Bijak Konsumsi Berita Negatif

Rabu, 24 September 2025 | 10:01:47 WIB
Dampak Doomscrolling dan Cara Bijak Konsumsi Berita Negatif

JAKARTA - Di era digital saat ini, arus informasi begitu deras datang dari berbagai arah. Hanya dengan membuka ponsel, beragam berita sudah tersaji, mulai dari kabar ringan hingga tragedi yang menimbulkan rasa cemas. Dari kebiasaan tersebut, muncul istilah doomscrolling, yaitu kecenderungan terus-menerus membaca berita negatif yang akhirnya memengaruhi kesehatan mental.

Fenomena ini semakin sering dialami masyarakat modern, terutama ketika dunia dipenuhi peristiwa menegangkan seperti kerusuhan, bencana, hingga konflik politik. Tanpa disadari, terlalu lama terpapar informasi negatif dapat membebani pikiran dan tubuh.

Kenapa Kita Tertarik dengan Berita Negatif?

Psikolog Klinis Adela Witami menjelaskan bahwa membaca atau menyaksikan berita negatif sebenarnya hal yang wajar. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk antisipasi diri agar bisa menghindari potensi bahaya di masa depan.

“Makanya kita fokus untuk mencari berita-berita yang negatif agar diri kita tidak menjadi negatif seperti yang ada di berita itu. Contohnya ada berita kerusuhan atau demo kemarin. Kita banyak doomscrolling ya di demo-demo tersebut. Itu bisa jadi adalah bentuk pertahanan diri kita untuk bisa tidak kenapa-kenapa kalau lewat jalan itu misalnya,” ungkap Adela pada Senin, 22 September 2025.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa secara naluriah, otak manusia memang cenderung lebih cepat merespons informasi yang dianggap berbahaya. Sayangnya, jika kebiasaan ini berlebihan, dampaknya bisa justru merugikan.

Cara Otak Memproses Informasi Negatif

Adela menerangkan bahwa respons cepat otak terhadap berita negatif berhubungan dengan kerja area amigdala. Bagian otak ini bertugas memproses emosi, dan bekerja lebih cepat dibandingkan area prefrontal cortex yang bertanggung jawab pada logika.

Akibatnya, saat terpapar kabar buruk, emosi langsung terpancing dan kecemasan meningkat. Baru setelah beberapa saat, logika mulai mengambil alih untuk meredam reaksi emosional tersebut. Mekanisme alami inilah yang membuat seseorang merasa gelisah lebih dulu sebelum akhirnya berpikir rasional.

Namun, jika proses ini terjadi terlalu sering, maka kecemasan dapat menjadi kronis. Dampaknya bisa mengganggu produktivitas, membuat sulit bekerja, hingga menurunkan kualitas komunikasi sosial.

Dari Kecemasan hingga Risiko Trauma

Fenomena doomscrolling bukan sekadar menguras energi emosional. Jika berlangsung terus-menerus, kebiasaan ini bisa menyebabkan masalah kesehatan mental yang lebih serius. Adela mencontohkan, seseorang yang terlalu banyak menyerap berita negatif dapat merasa dadanya sesak, tengkuk tegang, bahkan sering menangis tanpa sebab jelas.

“Bisa mulai sulit kerja, bisa mulai sulit untuk bisa melakukan aktivitas dalam kehidupan, misalnya dalam komunikasi sosial dan lain-lain. Itu bisa berdampak juga ke arah sana atau bahkan apabila dia terpapar bisa pada akhirnya dalam jangka waktu tertentu dan tentunya cuma bisa diagnosa oleh klinisi ya, dia bisa kena trauma juga sebetulnya,” ujarnya.

Dengan kata lain, doomscrolling bisa menjadi pintu masuk menuju gangguan psikis serius. Trauma yang timbul bukan hanya akibat kejadian langsung, tetapi juga karena terpapar berulang kali pada berita buruk.

Konseling Gratis Jadi Jalan Keluar

Adela juga menyinggung bahwa demonstrasi bergelombang dan bentrokan yang terjadi belakangan ini ikut memperburuk kondisi mental masyarakat. Tidak sedikit orang yang merasakan cemas berlebihan akibat berita mengenai perusakan fasilitas umum atau kericuhan.

Sebagai respons, ia bersama komunitas psikolog membuka layanan konseling gratis. Dalam dua hari pertama saja, sudah ada sekitar 160 warga yang datang untuk mengonsultasikan kondisi psikis mereka.

“Misalnya dia jadi banyak menangis, terus kenapa rasanya tuh kayaknya tengkuknya tegang, dadanya sesak apabila melihat berita. Jadi banyak sekali keluhannya karena kondisi tempo hari,” jelas Adela.

Data ini memperlihatkan bahwa paparan berita negatif secara intens dapat memberikan dampak nyata, bukan hanya pada individu, tetapi juga pada skala masyarakat.

Perlunya Regulasi Konsumsi Berita

Meski demikian, Adela menegaskan bahwa berita negatif tidak seharusnya dihindari sepenuhnya. Menurutnya, mengonsumsi berita tetap penting agar masyarakat bisa waspada terhadap situasi sekitar. Kuncinya adalah bagaimana seseorang mengatur intensitas dan durasi konsumsi berita.

Salah satu langkah yang disarankan adalah membuat jadwal khusus. Misalnya, tidak membuka berita dari pukul 08.00 hingga 18.00, lalu memberi waktu sekitar dua jam pada malam hari untuk membaca informasi terkini. Cara ini memungkinkan seseorang tetap terinformasi tanpa harus kehilangan keseimbangan mental.

Dengan mengatur “jendela konsumsi berita”, seseorang bisa meminimalkan dampak buruk doomscrolling dan tetap menjaga kesehatan mental.

Bijak Menyikapi Arus Informasi

Era digital memang membuat informasi mudah diakses kapan saja. Namun, kemudahan ini juga berarti risiko paparan berita negatif semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan sikap bijak dalam memilah informasi.

Membatasi waktu membuka media sosial, memilih sumber berita yang kredibel, serta menyeimbangkan dengan aktivitas positif seperti olahraga atau hobi, dapat membantu menekan dampak buruk doomscrolling.

Pada akhirnya, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jika konsumsi berita tidak dikendalikan, maka risiko kecemasan, stres, hingga trauma bisa meningkat. Sebaliknya, dengan regulasi yang tepat, kita bisa tetap mendapatkan informasi tanpa kehilangan ketenangan pikiran.

Doomscrolling adalah fenomena nyata yang kini dialami banyak orang. Membaca berita negatif dalam jumlah wajar bisa membantu meningkatkan kewaspadaan, tetapi jika berlebihan dapat menimbulkan gangguan mental serius.

Melalui regulasi konsumsi berita, konseling, dan kesadaran diri, dampak buruk ini bisa diminimalisasi. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat mengikuti perkembangan informasi tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka.

Terkini