Kontroversi Penggusuran: Kilas Balik Perumahan di Tambun Bekasi

Rabu, 05 Februari 2025 | 09:54:44 WIB
Kontroversi Penggusuran: Kilas Balik Perumahan di Tambun Bekasi

JAKARTA - Akhir pekan lalu, masyarakat digegerkan dengan kabar penggusuran di wilayah Bekasi yang diwarnai ketegangan. Penggusuran ini melibatkan puluhan rumah warga di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Bekasi. Ironisnya, warga yang menjadi korban mengklaim sudah memegang Sertifikat Hak Milik (SHM).

Meskipun mendapat penolakan keras dari para penghuni, eksekusi tetap dilaksanakan. Juru sita dari Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II melakukan tindakan pengosongan pada Kamis, 30 Januari 2025. Saat tim kami mengunjungi lokasi pada Selasa, 4 Februari 2025, tampak beberapa rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni, sementara beberapa lainnya masih dalam proses pembangunan.

Penggusuran ini melibatkan 27 bidang tanah, yang terdiri dari 19 unit rumah dan 8 unit ruko, yang semuanya berada di bawah sengketa hukum. Ketua RT setempat, Ririn, menjelaskan bahwa penggusuran ini tidak menyentuh sekitar 30 unit rumah lama yang aman dari sengketa.

“Banyak yang belum jadi rumahnya. Rumah-rumah lama sekitar 30-an masih aman,” kata Ririn. Dia menambahkan bahwa warga mulai mengosongkan rumah mereka sejak hari eksekusi.

Situasi semakin rumit dengan ketegangan antara warga dan pihak penggugat, Hj. Mimi Jamilah, yang mengklaim kepemilikan atas tanah berdasarkan putusan pengadilan. Papan pengumuman yang dipasang di depan perumahan menyatakan, "Tanah ini milik Hj. Mimi Jamilah seluas 36.030 m2 berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," dengan merujuk pada Putusan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS.

Menurut Ririn, warga sempat menunjukkan perlawanan di depan gerbang ketika eksekusi dilakukan. Namun, upaya tersebut tidak berhasil membendung langkah juru sita yang menurutnya telah berencana sejak 10 hari sebelumnya, setelah pelaksanaan penggusuran diundur dari jadwal awal.

Kondisi semakin menyulitkan warga dengan dicabutnya sambungan listrik dan air. “Makanya udah nggak ada yang dagang. Udah pada pindah. Kalau malam gelap itu, listriknya udah dipadamin,” ungkap Yani.

Penggusuran ini menyentuh lahan yang luasnya mencapai 3.100 meter persegi, mencakup perumahan dan delapan unit ruko. Herannya, satu ruko tetap beroperasi karena pemiliknya berupaya melakukan mediasi dengan penggugat.

Nilai properti tersebut tidak murah. Rumah di Cluster Setia Mekar Residence 2 diperkirakan bernilai antara Rp 600 juta hingga Rp 700 juta, sedangkan ruko di sana berkisar antara Rp 1,2 miliar hingga Rp 1,5 miliar per unit.

Kisruh ini menambah daftar panjang konflik tanah di wilayah Bekasi yang tak kunjung usai. Menurut catatan, sepanjang 2024 terdapat 295 kasus sengketa tanah yang meliputi wilayah seluas 92,58 hektar. Kasus semacam ini memerlukan perhatian serius agar tidak terus meresahkan warga.

Perbedaan klaim tanah seperti ini mengundang pertanyaan seputar sistem sertifikasi tanah di Indonesia dan kesiapan pemerintah dalam memberikan jaminan keamanan hak properti. Warga sangat berharap ada solusi nyata dari pemerintah untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.

Di masa mendatang, semoga pemerintah dapat mengambil langkah preventif dan represif agar sengketa tanah dapat dihindari sedini mungkin. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum dan keamanan untuk tempat tinggal mereka, agar tidak ada lagi cerita menyedihkan tentang keluarga yang kehilangan rumah meskipun telah memegang sertifikat resmi.

Kontroversi ini masih berlanjut, dan banyak pihak berharap adanya titik terang yang adil bagi seluruh pihak terkait. Saat ini, upaya mediasi dan diskusi-diskusi di antara pihak-pihak terkait diharap dapat membawa solusi damai untuk mengakhiri kebuntuan sengketa tanah ini.

Terkini