JAKARTA - Dalam perkembangan terbaru di sektor properti tanah air, kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 diperkirakan akan memberikan dampak signifikan terhadap permintaan pasar properti dalam negeri. Langkah ini telah mendorong sejumlah pengembang untuk menunda peluncuran proyek-proyek baru mereka, menunggu kondisi ekonomi yang lebih kondusif sebelum melakukan investasi besar.
Menurut laporan dari perusahaan konsultan properti terkemuka, Cushman & Wakefield, pasar properti, terutama di segmen kondominium, diprediksi akan mengalami peningkatan pasokan proyek baru pada semester kedua tahun 2025. Namun, keputusan kenaikan PPN tampaknya memicu langkah-langkah antisipasi dari para pengembang yang kini lebih memilih untuk berhati-hati sebelum melakukan ekspansi.
Arief Rahardjo, Direktur Strategic Consulting Cushman & Wakefield Indonesia, menjelaskan bahwa meskipun permintaan properti menunjukan tren positif untuk tahun 2024, faktor pasokan masih menjadi perhatian utama para pengembang. "Untuk pasar-pasar properti di tahun 2024 memang terjadi permintaan yang positif, cuman memang in term of pasokan para pengembang memang masih berhati-hati untuk melakukan ekspansi untuk proyek-proyek barunya," ungkap Arief dalam pernyataannya pada Kamis, 19 Desember 2024.
Menurut Arief, langkah ini diambil oleh para pengembang di hampir semua sektor properti. Keputusan untuk menunda peluncuran proyek baru dilakukan untuk menjaga stabilitas tingkat penjualan atau penyewaan di tengah ketidakpastian pasar yang disebabkan oleh perubahan kebijakan fiskal. "Ini di semua, hampir di semua sektor properti untuk menjaga stabilitas dari tingkat penjualan atau tingkat penyewaannya," tambahnya.
Namun, pasar perumahan tapak diperkirakan akan lebih stabil menghadapi tantangan ini. Segmen ini dianggap lebih tahan terhadap dampak kebijakan kenaikan PPN, meskipun tetap harus beradaptasi dengan perubahan tersebut di tahun 2025.
Lebih jauh, Cushman & Wakefield juga memprediksi bahwa pengembang akan lebih mengarahkan fokus mereka pada proyek-proyek yang mendapat dukungan pemerintah, terutama yang ditujukan untuk segmen masyarakat menengah dan menengah ke bawah. Proyek seperti rumah subsidi diyakini akan lebih menarik bagi pengembang di tengah situasi pasar yang menantang ini.
Sebagai contoh, program-program pemerintah seperti pembangunan 1 juta hunian vertikal diperkirakan tidak akan terpengaruh langsung oleh kebijakan kenaikan PPN. Proyek-proyek tersebut dicanangkan untuk terus berjalan tanpa beban PPN dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang secara khusus difokuskan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Arief menjelaskan lebih lanjut mengenai pengecualian ini. "Program 3 juta atau 1 juta hunian vertikal ini memang dikhususkan tidak terdampak dari PPN 12% sebetulnya, jadi memang itu bebas PPN dan juga BPHTB untuk MBR," jelasnya. Program ini diharapkan akan memberikan dorongan positif bagi sektor properti dan membantu menjaga tingkat permintaan yang stabil, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Dengan adanya kebijakan fiskal baru ini, para pelaku industri properti domestik ditantang untuk menyesuaikan strategi bisnis mereka guna mengamankan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Keputusan untuk menunda proyek belum selesai menjadi langkah strategis agar bisa tetap berdaya saing dan memenuhi kebutuhan pasar yang dinamis.
Di tengah ketidakpastian global dan perubahan kebijakan domestik, tantangan yang dihadapi sektor properti jelas membutuhkan pendekatan hati-hati dan perhitungan matang dari seluruh pemangku kepentingan dalam industri ini. Dengan pengembangan dan fokus ulang pada proyek dukungan pemerintah, diharapkan sektor properti tanah air dapat terus menunjukkan tren pertumbuhan yang positif di tahun-tahun mendatang.