JAKARTA - Emisi dari sektor transportasi telah diidentifikasi sebagai penyumbang utama polusi udara di kawasan perkotaan, dengan 47 persen di antaranya berasal dari kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalan raya. Fakta ini terungkap dalam sebuah lokakarya media yang digelar di Jakarta pada Selasa, 11 Februari 2025. Dalam acara tersebut, Julius Christian, analis senior dari Institute of Essential Services Reform (IESR), berbagi pandangannya mengenai situasi kritis ini.
"Di banyak negara lain, sumber polusi lebih banyak berasal dari ausnya ban kendaraan, karena mereka sudah menggunakan mesin dengan teknologi yang lebih canggih. Sementara di Indonesia, kualitas BBM yang masih kurang baik turut menyumbang tingkat polusi yang tinggi," papar Julius. Menurutnya, sumber pencemaran udara dari transportasi tidak hanya berasal dari asap pembakaran bahan bakar, tetapi juga dari debu, gesekan rem, serta aktivitas kendaraan lainnya.
Julius menyoroti bahwa kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia yang masih di bawah standar berperan signifikan dalam meningkatkan pencemaran udara. Saat ini, negara ini tengah berupaya meningkatkan standar emisi menjadi Euro-4, di mana sebagian besar negara lain telah bergerak ke Euro-6. Standar Euro-4 membatasi emisi sulfur sebesar 50 ppm, sedangkan BBM di Indonesia, terutama yang bersubsidi, mengandung sulfur hingga 500 ppm atau lebih. Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2024, konsumsi Pertalite 90 yang menyumbang sekitar 45 persen dari konsumsi BBM nasional pada 2023 memiliki kandungan sulfur 500 ppm. Pertamax 92 juga belum sepenuhnya memenuhi standar Euro-4 karena kandungan sulfurnya yang mencapai 400 ppm. Adapun Biosolar 48 subsidi, yang menyumbang 26 persen dari total konsumsi BBM pada 2023, mengandung sulfur sebesar 2.500 ppm.
"Sebagian besar BBM yang beredar di pasar masih memiliki kualitas rendah. Hanya Pertamax Green dan Pertamax Turbo yang telah memenuhi standar Euro-4 dengan kandungan sulfur 50 ppm," ungkap Julius lebih lanjut. Ia menambahkan bahwa penggunaan BBM berstandar Euro-4 dapat secara signifikan mengurangi beban polusi udara di wilayah padat seperti Jabodetabek, menekan hampir 90 persen polusi serta berpotensi menurunkan risiko penyakit akibat polusi udara hingga 79 persen.
Meski demikian, Julius mengakui bahwa transisi ke BBM rendah sulfur tidaklah mudah. Diperlukan subsidi yang mencapai Rp 40 triliun hingga 2028 guna menjaga harga agar tetap terjangkau bagi masyarakat. Di samping itu, ada kebutuhan mendesak untuk investasi besar dalam modernisasi kilang-kilang Pertamina agar mampu memproduksi bahan bakar dengan kualitas yang lebih baik.
"Tantangan lain adalah keterbatasan anggaran pemerintah yang saat ini fokus pada efisiensi. Padahal, jika anggaran tersebut dialokasikan untuk meningkatkan kualitas BBM, dampak kesehatan akibat polusi udara bisa dikurangi," jelas Julius. Saat ini, hanya kilang di Balikpapan yang mampu memproduksi BBM berstandar Euro-4, sedangkan kilang Balongan yang memproduksi BBM dengan emisi 10 ppm masih memiliki kapasitas terbatas.
Selain tantangan teknis dan finansial, Julius juga menyoroti kurangnya dorongan politik untuk meningkatkan kualitas BBM di Indonesia. Menurutnya, salah satu solusi cepat adalah dengan mengimpor BBM berkualitas lebih baik daripada terus mengandalkan pasokan BBM yang belum memenuhi standar Euro-4. "Selisih harga antara BBM berstandar Euro-4 dan Euro-2 di pasar global hanya sekitar Rp 200 per liter. Lebih baik mengeluarkan sedikit biaya tambahan untuk impor, tetapi mendapatkan kualitas BBM yang lebih baik agar nantinya bisa mengurangi pencemaran udara,” katanya.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak pencemaran udara terhadap kesehatan dan ekonomi, penting bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam mencari solusi yang berkelanjutan. Dengan kualitas udara yang lebih baik, diharapkan masyarakat bisa hidup lebih sehat dan produktif di lingkungan perkotaan yang semakin padat.