JAKARTA - Dalam upaya mengelola keuangan negara yang lebih efisien, pemerintah memutuskan untuk memangkas anggaran Kementerian Pekerjaan Umum secara signifikan, menurunkannya sebesar Rp 81,38 triliun dari angka awal Rp110,95 triliun. Kebijakan pemotongan anggaran ini diperkirakan akan mempengaruhi kelanjutan berbagai proyek infrastruktur vital, termasuk pembangunan jalan, perbaikan jalan rusak, konstruksi jalan tol, serta proyek waduk dan bendungan untuk irigasi.
Sehubungan dengan itu, skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi sorotan. Berdasarkan Peraturan Presiden No 38 Tahun 2015, KPBU telah lama dijadikan solusi untuk mengatasi keterbatasan dana pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Namun, dengan pemotongan anggaran terkini, diperlukan penataan ulang mekanisme KPBU, khususnya dalam mendefinisikan ulang hak dan kewajiban antara pemerintah dan sektor swasta.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Subarsono, Ph.D., menjelaskan bahwa selama ini KPBU terbukti efektif dalam menopang proyek-proyek infrastruktur. "Proyek infrastruktur dapat berjalan karena dana proyek bukan hanya ditopang oleh dana pemerintah, tetapi juga oleh dana Badan Usaha seperti dari BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta," ujarnya.
Subarsono menambahkan bahwa kebijakan pemangkasan anggaran akan berdampak signifikan pada perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia. Menurutnya, dengan adanya proyek-proyek yang sedang berjalan dan perubahan kebijakan efisiensi anggaran, langkah yang dapat diambil adalah menata ulang skema kerjasama. "Yang bisa ditempuh agar proyek tetap jalan adalah menata ulang skema kerjasama, mendefinisikan ulang hak dan kewajiban masing-masing pihak," jelasnya.
Dampak lain dari pemangkasan ini adalah berkurangnya setoran modal dari pemerintah dalam skema KPBU, yang mana menurut Subarsono, pihak swasta perlu mendapatkan insentif tambahan. "Saya kira pihak swasta perlu diberi insentif tambahan, misalnya durasi mengelola proyek ditambah sekian tahun, karena sektor swasta perlu menambah modal," sarannya.
Sinergi antara pemerintah dan sektor swasta, menurut Subarsono, sangat penting untuk pembangunan infrastruktur, terutama mengingat kebutuhan infrastruktur semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah dan kebutuhan penduduk. "Adanya keterbatasan anggaran pemerintah, mobilisasi dana dari swasta adalah salah satu strategi untuk percepatan pembangunan infrastruktur," katanya lebih lanjut.
Namun demikian, Subarsono juga menggarisbawahi bahwa kualitas infrastruktur di masa depan harus lebih baik mengingat tingginya tuntutan dari masyarakat yang semakin terdidik. "Kita perlu mengakui bahwa pada umumnya sektor swasta lebih maju (advanced) dalam teknologi dan manajemen daripada sektor publik, sehingga bermitra dengan sektor swasta juga akan memberikan sharing pembelajaran bersama terutama bagi pemerintah," tambahnya.
Model KPBU dikatakan dapat memobilisasi dana dari badan usaha atau sektor swasta serta mengurangi peran negara dalam pembangunan infrastruktur. Subarsono juga mencontohkan bahwa berdasarkan pengalaman di negara-negara Eropa Barat, public private partnership (PPP) bisa mempercepat pembangunan, mengingat pemerintah bisa mengalokasikan dana yang lebih terbatas untuk proyek lain ketika modal sektor swasta ikut berkontribusi.
"Dengan dukungan dana semakin besar karena topangan dari badan usaha, maka kualitas infrastruktur juga akan lebih baik dibandingkan jika dibangun hanya dengan dana dari pemerintah yang terbatas," tegasnya. Subarsono meyakini bahwa cara ini lebih baik daripada membiarkan proyek-proyek penting terhenti. Akhirnya, di tengah tantangan finansial, kerjasama yang efektif antara pemerintah dan sektor swasta menjadi kunci untuk percepatan dan peningkatan kualitas pembangunan infrastruktur di Indonesia.