Kementerian Pekerjaan Umum (PU) baru-baru ini mengumumkan kesepakatan strategis antara Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terkait penggunaan lahan kesultanan dalam proyek pembangunan infrastruktur Tol Solo-Yogyakarta. Dalam kesepakatan ini, kedua pihak memutuskan untuk menggunakan skema sewa bagi lahan yang bersinggungan dengan rute tol tersebut, menggantikan pembebasan lahan yang biasanya dilakukan pada proyek sejenis.
Miftachul Munir, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU, menyatakan bahwa model sewa lahan dipilih sebagai solusi bagi proyek besar ini. "Sampai akhir konsesi, seperti itu. Jadi sewanya dibayarkan sekalian dan itu hasil konsultasi dan opini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," ujarnya dalam keterangan yang diberikan di Jakarta, Kamis, 26 Desember 2024.
Keputusan untuk menggunakan skema sewa alih-alih pembebasan lahan ini diambil dengan pertimbangan jangka panjang. Munir menjelaskan bahwa pembayaran sewa yang dilakukan di awal pengelolaan proyek ini menjadi bagian dari perhitungan seluruh investasi. "Karena sewa ini kan jadi parameter investasi yang tentunya juga membebani tarif. Jadi tidak nanti tiap berapa tahun sekali kita bayarkan, terus kemudian ada potensi menaikkan," paparnya.
Proyek Tol Solo-Yogyakarta ini merupakan salah satu proyek infrastruktur strategis yang pengelolaannya berada di bawah naungan dua perusahaan besar nasional, yaitu PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR) dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI). Dalam komposisi kepemilikan saham, JSMR mendapatkan porsi mayoritas dengan kepemilikan sebesar 52,82 persen, sementara ADHI memiliki 47,18 persen.
Sebagai bagian dari perjanjian konsesi, JSMR dan ADHI mendapat hak pengelolaan dan operasi untuk Tol Solo-Yogyakarta selama 40 tahun. Namun demikian, sebelum jalan tol tersebut dapat dioperasikan, kedua perusahaan diwajibkan untuk melunasi biaya sewa lahan kepada pihak Keraton Yogyakarta. Ini berbeda dari proses akuisisi aset lahan oleh pemerintah, karena lahan Sultan Ground akan dikelola melalui sistem sewa dengan biaya yang ditanggung oleh BUJT.
Konsekuensi dari kesepakatan ini adalah bahwa semua biaya, termasuk biaya sewa tanah, pada akhirnya akan mempengaruhi tarif tol dan menjadi tanggungan pengguna jalan tol. "Semua pengeluarannya nanti kan kembalinya ke tarif. Nanti ujung-ujungnya menjadi beban pengguna," tutup Munir.
Proyek ini diharapkan mampu meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan Solo dan Yogyakarta. Infrastruktur jalan tol yang memadai dipercaya dapat menjadi solusi bagi kemacetan lalu lintas dan mengurangi waktu tempuh di antara kedua kota penting ini. Dengan adanya jalan tol yang lebih efisien dan cepat, diharapkan distribusi barang dan pergerakan manusia dapat berjalan lebih lancar, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada peningkatan ekonomi lokal.
Di sisi lain, terdapat pula harapan dari berbagai pihak agar pengelolaan lahan Sultan tetap menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan demikian, keseimbangan antara modernisasi infrastruktur dan pelestarian warisan budaya dapat tetap terjaga. Ini menjadi salah satu nilai penting dari implementasi skema sewa yang juga memperhatikan faktor sosial dan budaya setempat.
Penerapan skema sewa jangka panjang untuk lahan kesultanan dalam proyek ini adalah contoh nyata dari kolaborasi antara pemerintah, badan usaha, dan lembaga lokal yang bertujuan menciptakan solusi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Keberhasilan dari proyek ini dapat menjadi acuan bagi proyek-proyek infrastruktur di masa depan, khususnya yang melibatkan aset budaya dan tanah kesultanan.
Dengan disepakatinya model ini, Proyek Tol Solo-Yogyakarta diharapkan dapat berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan, dan dapat memberikan dampak positif baik dari segi ekonomi maupun sosial bagi masyarakat di sekitar area pembangunan.