JAKARTA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025 tidak hanya menciptakan dinamika baru dalam ekonomi nasional, tetapi juga berpotensi besar memicu inflasi yang lebih tinggi. Dengan penerapan kebijakan ini, para pakar dan pelaku bisnis meyakini bahwa sektor properti dan otomotif akan merasakan dampak yang signifikan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, peningkatan PPN ini dapat mendorong inflasi mencapai level yang lebih tinggi pada 2025. “Kenaikan PPN sebesar 1 persen ini akan memperburuk beban ekonomi bagi keluarga yang memiliki keterbatasan dalam pengeluaran,” ungkap Wahyudi. Beliau menegaskan bahwa kebijakan ini harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama kelompok miskin dan kelas menengah ke bawah.
Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan Celios, kelompok miskin diprediksi akan mengalami peningkatan pengeluaran hingga Rp 101.880 setiap bulannya. Sedangkan, bagi kelas menengah, kenaikannya bisa mencapai Rp 354.293 per bulan. “Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan,” tambah Wahyudi.
Kondisi ini juga diperparah dengan dampak langsung pada sektor properti, yang menghadapi tantangan berat. Meski Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengapresiasi kebijakan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti, mereka merasa bahwa durasi pemberian insentif terlalu singkat. “Harapan kami, jangan terlalu pendek periodenya. Kalau bisa, langsung dua tahun,” kata Wakil Ketua Umum Apindo, Sanny Iskandar. Menurutnya, dengan durasi insentif yang lebih panjang, pengembang properti dapat lebih maksimal dalam memanfaatkan stok yang ada tanpa perlu khawatir dengan perubahan kebijakan yang mendadak.
Sektor properti juga mendapat perhatian dari Real Estat Indonesia (REI), yang mengusulkan agar rumah inden juga mendapatkan insentif PPN DTP namun dengan syarat ketat. Wakil Ketua Umum DPP REI, Bambang Ekajaya, menyarankan insentif PPN DTP diberikan hingga 50 persen dari nilai insentif untuk unit siap pakai. “Syaratnya, pengembang harus memiliki reputasi baik, terdaftar di asosiasi yang diakui pemerintah, dan bekerja sama dengan perbankan,” tegas Bambang.
Di sisi lain, sektor otomotif pun merespon kebijakan pemerintah dalam bentuk insentif PPN DTP untuk kendaraan ramah lingkungan, seperti mobil hybrid, dengan nada positif. Anton Jimmy Suwandi, Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM), mengungkapkan, “Ini akan menjadi support bagi industri otomotif nasional dan kendaraan hybrid yang ramah lingkungan.” Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia.
Namun, tantangan di sektor otomotif tidak berhenti di situ. Pemain industri ini juga harus menghadapi kenaikan harga kendaraan yang dipicu oleh kebijakan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang dilaporkan meningkat 66 persen. Presiden Direktur MPM Honda Jatim, Suwito Mawarwati, memprediksi bahwa harga sepeda motor listrik bisa naik sekitar Rp 200 ribu akibat kenaikan PPN tersebut. Selain itu, regulasi opsen yang menaikkan PKB dan BBNKB diperkirakan dapat menambah harga kendaraan sekitar 5 persen, setara dengan kenaikan harga Rp 1-2 juta per kendaraan. “Dampak jelas ada karena konsumen kita sangat sensitif terhadap harga. Apalagi, ini bukan faktor satu-satunya yang bakal mendongkrak nilai otomotif,” jelas Suwito, menyoroti betapa sensitifnya perubahan harga terhadap daya beli masyarakat.
Dengan berbagai reaksi dan pertimbangan dari berbagai sektor, jelas bahwa kenaikan PPN tidak akan luput dari perdebatan dan dampak di berbagai sector ekonomi. Pemerintah diharapkan bisa mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dalam mengevaluasi kebijakan ini, khususnya demi menjaga daya beli masyarakat dan kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional.