Transportasi

Penurunan Kuota Pertalite 2025 dan Implikasi Penghematan Anggaran terhadap Industri Perhotelan dan Transportasi

Penurunan Kuota Pertalite 2025 dan Implikasi Penghematan Anggaran terhadap Industri Perhotelan dan Transportasi
Penurunan Kuota Pertalite 2025 dan Implikasi Penghematan Anggaran terhadap Industri Perhotelan dan Transportasi

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah mengumumkan bahwa kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite akan mengalami penurunan pada tahun 2025. Kebijakan tersebut menetapkan kuota Pertalite sebesar 31,2 juta kiloliter (KL), turun tipis dibandingkan kuota tahun ini yang sebesar 31,6 juta KL. Keputusan ini menjadi salah satu topik paling menarik perhatian publik dan menduduki peringkat teratas berita yang paling banyak dibaca sepanjang minggu ini.

Erika Retnowati, Kepala BPH Migas, menjelaskan bahwa penetapan kuota BBM bersubsidi, termasuk Pertalite, didasarkan pada Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2025. Selain penurunan kuota Pertalite, BBM jenis solar dan minyak tanah juga mengalami pengurangan. Kuota Solar ditetapkan sebesar 18,8 juta KL, turun dari 19 juta KL tahun ini, sementara minyak tanah (kerosene) dipatok pada angka 525 ribu KL.

Penyesuaian kuota ini bukan tanpa alasan. Erika menjelaskan adanya rencana perubahan mekanisme penyaluran BBM subsidi yang nantinya akan mengadopsi sistem pencampuran (blending) antara subsidi berbentuk barang untuk konsumen tertentu dan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT). "Penurunan ini merupakan bagian dari kebijakan untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan memberikan dampak yang lebih signifikan," ungkap Erika saat ditemui dalam acara BPH Migas Awards 2024.

Dalam konteks yang lebih luas, keputusan pengurangan kuota ini bukan satu-satunya langkah pengetatan anggaran oleh pemerintah. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan pemerintah untuk lebih berhemat dan memangkas anggaran pada kegiatan yang dianggap tidak produktif, seperti seremonial, demi menghindari risiko lambatnya serapan belanja pemerintah.

Efek dari kebijakan penghematan ini diperkirakan akan berdampak pada beberapa sektor ekonomi, khususnya industri perhotelan dan transportasi. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa langkah pemerintah tersebut berpotensi menimbulkan risiko perlambatan serapan belanja, yang sudah terlihat dari tren penghematan yang marak di kalangan masyarakat.

"Dalam situasi di mana konsumen mulai berhemat, langkah pemerintah untuk melakukan efisiensi belanja melalui pengurangan perjalanan dinas bisa memperparah situasi. Hal ini dapat memperlambat serapan belanja dan berdampak negatif terhadap beberapa sektor, seperti perhotelan, transportasi, dan Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE)," kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima memperingatkan bahwa dampak penghematan ini dapat mengganggu periode puncak konsumsi masyarakat, yang biasanya terjadi pada masa Natal dan Tahun Baru. "Frugal living yang mulai diterapkan masyarakat bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi dalam periode tersebut," tambah Bhima.

Sektor perhotelan dan transportasi sangat bergantung pada perjalanan dinas dan kegiatan MICE untuk mendorong pertumbuhan. Efek pengurangan anggaran dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam acara-acara ini, yang pada gilirannya dapat merugikan ekonomi lokal dan nasional.

Seiring dengan upaya pemerintah untuk menargetkan efisiensi lebih dalam belanja anggaran, sektor-sektor terkait berharap adanya kompensasi berbentuk paket stimulus atau program pemulihan ekonomi yang bisa membantu menstabilkan situasi. Langkah ini diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap berada di jalur positif pada kuartal IV tahun 2024 dan seterusnya.

Pada akhirnya, kebijakan pengurangan kuota Pertalite dan penghematan belanja pemerintah merupakan langkah strategis dalam konteks jangka panjang. Namun, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka pendek yang mungkin muncul dan mencari solusi yang tidak hanya melibatkan efisiensi belanja, tetapi juga langkah-langkah proaktif untuk mendukung sektor-sektor yang terdampak. Oleh karena itu, reformasi kebijakan yang inklusif dan berimbang menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index