JAKARTA - Pemerintah Indonesia berencana mengubah tata cara perdagangan batubara dengan mewajibkan penggunaan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk transaksi ekspor. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, berencana untuk membuat kebijakan ini dalam waktu dekat. Kebijakan tersebut mendapat tanggapan dari pelaku industri, termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).
APBI, sebagai perwakilan dari industri pertambangan batubara di Indonesia, menilai bahwa pemberlakuan HBA dalam transaksi ekspor dapat berimplikasi pada dinamika bisnis antar perusahaan (business to business). "HBA saat ini tidak banyak digunakan untuk ekspor karena acuannya merupakan harga jual dari beberapa pekan sebelumnya," kata Gita Mahyarani, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif APBI.
Gita menjelaskan bahwa HBA umumnya dihitung berdasarkan harga dari minggu-minggu sebelumnya dalam bulan yang sama dan dirilis secara bulanan. Hal ini berbeda dengan beberapa indeks batubara internasional lainnya seperti Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Plats 5900, hingga Indonesia Coal Index (ICI) yang diperbarui setiap minggu dan dapat dimonitor secara harian. Keterlambatan pembaruan harga ini menjadi salah satu hambatan utama penggunaan HBA secara lebih luas di pasar ekspor.
"Mengapa indeks-indeks lain lebih menarik, karena mereka memberikan pembaruan yang lebih dinamis, lebih cepat menyesuaikan dengan kondisi pasar," tambah Gita. Dalam transaksi internasional yang telah diikat dengan kontrak jangka panjang, kedua belah pihak telah menentukan indeks mana yang akan digunakan, membuat kewajiban menggunakan HBA menjadi tantangan baru.
Meski demikian, APBI tidak menolak sepenuhnya rencana pemerintah. Gita menyatakan, "Sebenarnya dengan statement pemerintah t**panjanganhati**adi untuk mengontrol produksi sudah cukup baik dan bisa berpengaruh positif ke harga." Gita menekankan pentingnya kajian yang komprehensif terhadap setiap kebijakan yang akan diterapkan untuk memastikan kesesuaian dan efektivitasnya. "Kami (APBI) harap dilibatkan dalam pembentukan peraturan indeks HBA," tegasnya.
Di sisi pemerintah, Bahlil masih kukuh dengan rencananya. Dalam konferensi pers kinerja Kementerian ESDM periode 2024, Bahlil menyatakan bahwa Indonesia harus mampu menentukan harga komoditas unggulannya sendiri. "Masa harga HBA kita ditentukan oleh negara tetangga. Atau harga HBA kita dibuat lebih murah dari negara lain," tegasnya.
Pemerintah percaya bahwa dengan penetapan HBA sebagai patokan harga transaksi internasional, Indonesia akan memiliki kendali lebih besar atas harga batubara di pasar global. Bahlil juga mengisyaratkan akan memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kebijakan baru tersebut. "Kalau ada perusahaan yang tidak mengikuti itu, maka kami punya cara untuk membuat mereka bisa ikut. Itu kira-kira, kalau tidak mau, ya kita tidak usah (kasih) izin ekspornya," jelasnya.
Rencana ini sejalan dengan strategi untuk meningkatkan kontrol atas pasar batubara nasional dan internasional serta menunjang ketahanan energi Indonesia. Walau demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan agar kebijakan yang diterapkan bisa berimbang dan menguntungkan seluruh pihak.
Namun demikian, pertanyaan dari pelaku usaha mengenai bagaimana HBA bisa lebih kompetitif dengan indeks global lainnya masih harus dijawab. Dengan kebijakan ini, Indonesia diharapkan dapat menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan kestabilan bisnis global dalam perdagangan batubara.
Ke depan, kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta dalam merumuskan kebijakan yang tepat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini. Apakah kebijakan ini akan diterapkan dan bagaimana reaksi pasar selanjutnya, masih harus dilihat dalam beberapa bulan mendatang. keterlibatan dari sektor industri dalam pembahasan lebih lanjut mengenai HBA akan menjadi krusial dalam mewujudkan target yang diinginkan oleh pemerintah.