JAKARTA - Perkembangan dunia kerja di Indonesia mulai memasuki babak baru. Tidak hanya keterampilan teknis dan pengalaman kerja, tetapi kini rekam jejak keuangan pribadi juga berpotensi ikut diperhitungkan dalam proses rekrutmen karyawan.
Pendiri International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia, Aidil Akbar Madjid, menegaskan bahwa perilaku keuangan seseorang dapat mencerminkan kedisiplinan dan tanggung jawab individu. Hal itu kemudian bisa menjadi indikator penting dalam penilaian perusahaan ketika menerima calon pegawai.
Menurut Aidil, akses terhadap informasi keuangan nasabah dapat diperoleh perusahaan melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK) maupun melalui layanan credit scoring dari perusahaan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA).
Perusahaan Mulai Lirik Skor Kredit Calon Pegawai
Aidil menjelaskan bahwa fenomena ini sebenarnya sudah mulai terlihat di berbagai perusahaan, khususnya perusahaan multinasional.
“Mau lamar kerja, sekarang itu udah banyak sekali perusahaan, khususnya multinational company (perusahaan multinasional), kalau mau kerja di sana, dicek SLIK. Tapi kan sekarang SLIK relatif cukup mahal. Nah, bisa jadi nanti perusahaan-perusahaan lokal mengeceknya ke credit scoring,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Ia menilai langkah ini sangat wajar, apalagi untuk posisi kerja yang berhubungan langsung dengan keuangan perusahaan. Baginya, rekam jejak pribadi dalam mengelola keuangan bisa menjadi cerminan bagaimana seseorang akan bertanggung jawab terhadap uang perusahaan.
“Kalau orangnya tidak disiplin secara pribadi, bagaimana dengan uang perusahaan? Bahkan bisa jadi potensi korupsi misalnya,” lanjut Aidil.
Praktik Serupa di Negara Maju
Aidil menyampaikan bahwa praktik menggunakan riwayat keuangan untuk menilai kredibilitas seseorang bukanlah hal baru. Di negara-negara maju, hal itu bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di Amerika Serikat, misalnya, setiap kali seseorang ingin menyewa apartemen atau membeli smartphone dengan skema cicilan, pihak penyedia akan terlebih dahulu mengecek riwayat kredit calon pelanggan.
Mereka yang memiliki skor kredit baik bukan hanya mendapatkan kemudahan, tetapi juga berhak melakukan negosiasi. Misalnya, meminta bunga pinjaman lebih rendah kepada bank, atau memperoleh potongan harga premi dari penyedia jasa asuransi.
Di China, evaluasi ini bahkan berkembang lebih jauh dengan adanya social scoring. Sistem ini tidak hanya menilai catatan kredit individu, tetapi juga perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya, tindakan menyeberang jalan sembarangan bisa memengaruhi social scoring seseorang. Nilai yang menurun dapat menghambat akses mereka terhadap layanan keuangan, termasuk pengajuan pinjaman, karena dianggap tidak bertanggung jawab.
Indonesia Bergerak ke Arah yang Sama
Dengan adanya sejumlah perusahaan yang mulai menggunakan skor kredit sebagai bahan pertimbangan rekrutmen, Indonesia kini juga bergerak ke arah serupa seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan China.
Aidil menilai tren ini akan semakin menguat di masa mendatang. Sebab, perusahaan tentu menginginkan pegawai yang memiliki integritas tinggi dan disiplin, termasuk dalam mengatur keuangan pribadi.
Menurutnya, seorang karyawan yang mampu mengelola keuangan dengan baik cenderung lebih dapat dipercaya dalam mengelola aset perusahaan. Sebaliknya, jika riwayat kreditnya buruk, ada kemungkinan muncul keraguan terhadap tanggung jawab individu tersebut.
Dampak Buruk Tren Galbay
Meski demikian, Aidil menyayangkan maraknya gerakan gagal bayar (galbay) yang banyak beredar di media sosial. Fenomena ini terutama terjadi pada layanan pinjaman daring (pinjol) maupun sistem paylater yang kerap digunakan generasi muda.
“Banyak sekali customer (nasabah)-nya (dari pinjol dan paylater yang merupakan) generasi muda ya, Gen Z, generasi milenial, gitu ya, yang masih punya masa depan jauh sekali, lalu tiba-tiba semuanya berantakan gara-gara ini (credit scoring yang jelek),” jelas Aidil.
Ia menilai, perilaku tidak disiplin dalam membayar kewajiban kredit hanya akan merugikan nasabah sendiri. Tidak hanya sulit mengajukan pinjaman baru, tetapi juga bisa menghambat peluang kerja di perusahaan tertentu jika rekam jejak keuangan dijadikan acuan rekrutmen.
Tantangan dan Kesadaran Finansial
Perubahan arah penilaian ini membawa tantangan besar bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Kesadaran dalam mengelola keuangan menjadi semakin penting, karena dampaknya tidak lagi terbatas pada kemampuan mengakses pinjaman, tetapi juga bisa memengaruhi karier di dunia kerja.
Dengan demikian, membayar kewajiban tepat waktu, menghindari pinjaman berlebihan, serta menggunakan fasilitas kredit secara bijak menjadi kunci utama.
Aidil mengingatkan, skor kredit yang baik bukan hanya soal nilai, tetapi juga tentang reputasi pribadi. Reputasi tersebut akan menjadi pertimbangan penting, baik bagi lembaga keuangan maupun perusahaan yang membuka lowongan kerja.
Tren penggunaan skor kredit dalam proses rekrutmen pegawai menandai perubahan besar dalam cara perusahaan menilai calon karyawannya. Tidak hanya kemampuan profesional, tetapi juga disiplin pribadi dalam mengelola keuangan menjadi indikator kepercayaan.
Fenomena yang sudah lama berlaku di negara maju kini mulai merambah Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan, agar tidak terhambat oleh riwayat kredit buruk di masa depan.